Jika anda berpikir bahwa dilanjutkannya Liga Inggris pada 17 Juni nanti adalah tanda Inggris menang perang melawan Corona, atau anda yakin bahwa tujuan kembalinya Liga Inggris adalah untuk memberikan penghiburan bagi orang-orang yang mulai frustasi dengan situasi pandemi ini, maka anda harus segera menghubungi ustadz anda untuk meminta rukyah. Serius. Kecuali anda kesurupan arwah hantu pendukung Liverpool yang tak sabar ingin melihat tim nya juara, maka anda akan sadar bahwa Project Restart Liga Inggris ini murni untuk kepentingan bisnis belaka.

Dengan 27.000 kasus kematian akibat Covid-19, Inggris masuk dalam tiga besar tingkat kematian tertinggi di Eropa selain Spanyol dan Italia. Per tulisan ini terbit, Inggris sudah mengkonfirmasi total 131.932 warganya positif terinfeksi virus Corona (Total Inggris Raya mencapai 269.000 kasus positif dengan 37.000 tewas). Puncak konfirmasi kasus positif harian tercatat 6.000 kasus per hari pada tanggal 6 Mei 2020 dan menurun hingga 1.800 kasus positif per hari pada tanggal 28 Mei 2020, tiga minggu sebelum kick off Liga Inggris dimulai kembali.

Jika dibandingkan dengan Jerman ketika memulai kembali Bundesliga, maka Inggris seperti mengikuti Pemerintah Indonesia yang membuka mall ketika puncak kurva pagebluk bahkan belum terlihat. Dengan kata lain: Nekad! Saya curiga yang pertama kali mengirim meme tentang perbandingan antara Corona dengan istri ke pak Luhut dan pak Mahfud sebenarnya adalah Boris Johnson.

Puncak kurva pagebluk di Jerman terjadi pada 3 April 2020 dengan 6.174 kasus positif. Dan ketika Bundesliga dimulai pada 16 Mei lalu kasus positif harian sudah jauh menurun ke angka 620 kasus per hari dengan angka kematian hanya 1/3 dari jumlah korban di Inggris. Hal ini karena Jerman mampu melakukan tes swab secara agresif hingga 130.000 lebih tes per hari dan memproduksi hingga 50.000 masker per minggu untuk tenaga medis.

Sementara, kemampuan sistem kesehatan Inggris masih banyak mendapat kritikan. Data tes Covid-19 di Inggris ternyata morat-marit. Pemerintah Inggris menetapkan target 100.000 uji virus corona per hari pada akhir April, dan berhasil mencatat 122.347 tes pada 30 April. Tapi pencapaian tersebut dikritik karena termasuk dalam angka ini sekitar 40.000 kit pengujian yang telah dikirim tetapi belum selesai atau masih diproses. Selain itu jumlah tes yang dilakukan tidak sama dengan jumlah orang yang diuji. Pada 22 Mei ada 140.497 tes tetapi hanya 80.297 orang diuji. Tenang pak Boris, dalam hal carut marut data Inggris masih kalah dari Indonesia.

Inilah yang membuat pembicaraan Project Restart antara klub, pemain, dan otoritas Liga Inggris sangat alot. Inggris nekad melanjutkan liga padahal pagebluk masih belum bisa diatasi dengan optimal. Namun mereka sepertinya tak punya pilihan. Liga Inggris terlalu besar untuk mengalami kegagalan. UEFA sudah memberi tenggat waktu hingga 25 Mei untuk Inggris memberikan konfirmasinya apakah akan melanjutkan liga atau tidak. Lewat dari tanggal tersebut maka Liga Inggris dianggap batal, sementara perputaran bisnis terlalu besar untuk dipertaruhkan.

Penelitian yang dilakukan oleh akuntan KPMG menunjukkan bahwa membatalkan musim dapat membuat klub Liga Premier kehilangan 1,1 miliar poundsterling secara kolektif. Gary Neville, salah satu pemilik tim League Two Salford City, telah mengklaim bahwa klub menghadapi “pembantaian total secara ekonomi” kecuali Liga Premier memberikan paket keuangan untuk membantu menjaga klub kecil tetap bertahan.

Selain itu urusan promosi dan degradasi menjadi masalah tersendiri. Paling tidak ada lima klub Premier League yaitu Brighton, West Ham, Watford, Bournemouth, Aston Villa, dan Norwich City yang masih berpeluang untuk menghindari degradasi. Degradasi artinya mereka akan kehilangan pendapatan karena harus turun ke kasta yang lebih rendah.

Paling tidak ada tiga bencana keuangan yang bisa klub alami jika mereka degradasi: Kehilangan pendapatan hak siar, kehilangan pendapatan tiket akibat turunnya jumlah penonton, dan kehilangan sponsor. Ketiga hal tersebut dapat menyebabkan ketidakmampuan dalam membayar gaji pemain, yang akhirnya berujung pada kebangkrutan. Kita bisa melihat pada kasus Portsmouth. Setelah menjuarai piala FA tahun 2008 mereka lalu terdegradasi di 2010. Sejak saat itu mereka diambang kepunahan karena kebangkrutan dan saat ini terdampar di kompetisi League One. Tidak ada klub yang menginginkan hal itu terjadi. Saat ini saja keuangan mereka sudah hancur dan mereka terpaksa memotong gaji pemain.

Sementara itu Chelsea, Manchester United, Wolves, dan Sheffield United berpeluang untuk melengkapi empat slot Liga Champion yang tiga sisanya sudah ditempati oleh Liverpool, Manchester City, dan Leicester City. Gagal melaju ke Liga Champion akan membuat dampak keuangan yang signifikan, terutama untuk klub besar seperti Chelsea dan Manchester United. Mereka akan kesusahan merekrut pemain bintang. Tanpa pemain bintang mereka akan sulit menjual merchandise yang ujung-ujungnya mempengaruhi pundi-pundi uang mereka. Terlebih, bermain di Liga Champion berarti mereka akan mendapatkan hadiah uang di setiap pertandingan yang digelar.

Tentu saja klub juga mengejar uang yang bersal dari hak siar. Para investor di klub Liga Inggris adalah pebisnis. Hal yang didahulukan tentunya keuntungan yang akan diperoleh dari investasi yang sudah mereka tanamkan. Pendapatan hak siar adalah faktor yang sangat besar bagi klub Liga Premier karena uang yang diterima dari pos tersebut melebihi setiap aliran pendapatan lainnya. Huddersfield terdegradasi di posisi ke-20 musim lalu, tetapi mereka masih mendapatkan 96,63 juta poundsterling dari hak siar. Liverpool adalah penghasil hak siar terbesar dengan 152,43 juta poundsterling semusim. Mereka tidak ingin uang hak siar ini hilang karena liga dibatalkan.

Pembatalan liga juga menambah masalah bagi klub yang nama stadionnya menggunakan nama sponsor seperti milik Emirates (Arsenal), Etihad (Manchester City), dan King Power (Leicester City) karena itu berarti mereka harus mengembalikan sebagian uang sponsor yang sudah mereka terima. Nama sponsor yang tidak jadi terpampang ketika game berjalan baik di stadion maupun di televisi menjadi masalahnya karena sponsor sudah membayar mahal untuk itu. Klub-klub Liga Inggris tidak mau neraca keuangan mereka jadi minus akibat hal ini.

Meskipun klub-klub dan otoritas Liga bersatu dalam menjalankan kembali Liga Inggris, penolakan terjadi di kalangan pemain. Danny Rose, pemain belakang Tottenham yang sedang dipinjamkan di Newcastle, mengatakan bahwa pemain diperlakukan seperti kelinci percobaan pada Project Restart. Dia menambahkan bahwa dengan Project Restart berarti ia mempertaruhkan kesehatannya hanya untuk menghibur orang lain. Kapten Watford Troy Deeney bahkan terang-terangan menolak untuk bermain karena kuatir akan membahayakan anaknya yang punya gangguan pernapasan. Faktanya, dari hasil tes yang dilaksanakan 26 Mei lalu ke 1008 pemain dan staff Liga Inggris, terdapat 4 orang yang dinyatakan positif Covid-19. Dengan karakter virus Corona yang menyebar dengan sedemikian cepat, maka kekuatiran pemain akan tertular bukannya tanpa alasan.

Sangat jelas bahwa faktor ekonomi adalah alasan yang paling kuat dalam Project Restart Liga Inggris dibandingkan dengan alasan lainnya terutama kesehatan, alasan yang sama mengapa New Normal dipaksakan berjalan padahal penanganan pagebluk masih amburadul. Terlebih saat ini mereka bersaing dengan Bundesliga dalam memperebutkan uang para penonton sepakbola. Ya, mereka saat ini sedang memperebutkan uang anda yang rela membayar untuk menonton pertandingan sepakbola. Jangan naif, industri sepakbola itu murni kapitalis. Jika uang sudah berbicara, maka kesehatan nomor dua. Di semua negara sama saja.