Berbeda dengan beberapa liga eropa lainnya seperti Eredivise, Ligue 1, atau Jupiler Pro League yang membatalkan liganya karena pagebluk, tanggal 16 Mei 2020 lalu Bundesliga membuka kembali liganya setelah absen lima minggu karena alasan yang sama. Tanda Jerman menyerah melawan Covid-19?

Begitu virus Corona merebak ke seluruh dunia, perdebatan mengenai mana yang harus diprioritaskan antara kesehatan dan ekonomi perlahan mencapai titik kulminasinya. Dari politikus hingga rakyat jelata di berbagai negara saling sanggah antar sesamanya mengenai hal pelik tersebut. Macam makan buah simalakama memang. Jika memprioritaskan kesehatan, maka ekonomi mati. Jika mendahulukan ekonomi, maka korban berjatuhan. Tidak ada satu pilihan yang benar-benar aman dari kecaman.

Jerman, sebagai negara dengan skala ekonomi terbesar di Eropa, mengalami hal yang sama. Sekitar 134.000 orang terinfeksi virus corona ketika pemerintah Jerman mengumumkan lockdown pada bulan Maret dengan korban tewas kurang lebih 3.800 orang. Angka ini memang masih rendah dibanding tiga negara tetangganya yaitu Italia, Perancis, dan Spanyol. Namun jelas ekonomi Jerman mengalami kontraksi yang tidak bisa dianggap ringan.

Kanselir Jerman Angela Merkel mendapatkan tekanan untuk mempercepat keluarnya Jerman dari lockdown setelah perang melawan pagebluk mengirim ekonomi Jerman hingga ke dasar jurang. Ekonomi Jerman diperkirakan menyusut sebesar minus 6,3% pada tahun 2020, lebih parah dari krisis keuangan satu dekade lalu.

Setelah dipaksa untuk menutup usaha sejak pertengahan Maret, kesulitan ekonomi mulai membuat morat-marit banyak bisnis di Jerman. Dari usaha kecil menengah hingga maskapai penerbangan nasional, Deutsche Lufthansa AG, mereka mengalami masa yang sangat berat meskipun pemerintah Jerman memberikan bantuan dalam bentuk pinjaman darurat.

Asosiasi untuk Usaha Kecil dan Menengah atau Mittelstand yang merupakan tulang punggung ekonomi Jerman menuduh Merkel berat sebelah dalam menangani pandemi dan menempatkan masa depan ekonomi negara dalam bahaya. Mereka menuntut lockdown segera dibuka agar bisnis kembali berjalan. Tidak di Jerman, tidak di Indonesia, ternyata sama saja.

Salah satu bisnis yang terancam ambruk adalah Bundesliga. Liga sepakbola di Jerman tersebut merupakan bisnis yang besar. Total sekitar 37.000 pekerja terlibat dalam bisnis Bundesliga setiap musimnya, mulai dari pesepakbola, staff, hingga tenaga keamanan dan kontraktor. Satu pertandingan Bundesliga bisa ditonton hingga 80.000 suporter di dalam stadion dan disiarkan secara langsung di 200 negara. Walaupun tidak bisa bersaing melawan Liga Inggris dalam hak siar, namun jika Bundesliga dibatalkan maka mereka akan menelan kerugian hingga 800 juta US Dollar.

Hampir setiap klub sepakbola Jerman bertahan dengan pendapatan dari hak siar TV. Jika musim dibatalkan, maka banyak klub sepak bola profesional akan berada dalam masalah besar dari sisi stabilitas keuangan. Klub-klub sepakbola di Jerman adalah klub independen. Mereka dimiliki oleh anggota (suporter) dan tidak memiliki investor asing. Sehingga mereka memiliki pendapatan dari hak siar TV, sponsor, dan pendapatan tiket. Jika ini menghilang, mereka tidak punya investor kaya dari Arab atau Rusia yang memompa jutaan Euro untuk bertahan hidup.

Jerman harus memutar otak untuk menyelamatkan liganya. Ada dua opsi yang diwacanakan, yaitu menghapus aturan 50+1 yang menghalangi investor dalam menanamkan uang di Bundesliga dan menyelesaikan liga yang telah tertunda. Opsi pertama tentu ditolak oleh suporter sepakbola Jerman. Anda harus membaca nota protes dari suporter Eintracht Frankfurt untuk memahami duduk pangkal masalahnya. Opsi kedua, Bundesliga restart, adalah pilihan yang realistis untuk diambil dan menyelamatkan liga.

(Bersambung ke Bagian 2)